Selasa, 16 Februari 2010

MAKALAH

PENDAHULUAN



A. Definisi Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang bastrak. Tafsir menurut istilah adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.

Abu Thalib al-Tsa’laby berkata: Tafsir ialah menjelaskan status lafadz apakah hakikat atau majaz. Tafsir pada asalnya ialah membuka dan melahirkan. Dalam istilah syara’ ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya, dan sebab diturunkannya ayat, dengan lafadz yang menunjuk kepadanya secara terang.

B. Kegunaan Tafsir
Tafsir Al-Qur’an al-Karim mempunyai banyaka kegunaan dintaranya:
1. Mengetahui maksud Allah yang terdapat di dalam syari’atnya yang berupa perintah dan larangan, sehingga keadaan manusia menjadi lurus dan baik.
2. Untuk mengetahui petunjuk Allah mengenai akidah, ibadah, dan akhlak agar masyarakat berhasil meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Untuk mengetahui aspek-aspek kemukjizatan yang terdapat di dalam al-Qur’an al-Karim.
4. Untuk menyampaikan seseorang kepada derajat ibadah yang paling baik.





C. Hukum Mempelajari Tafsir
Para Ulama sepakat hukumnya mempelajari tafsir adalah fardhu kifayah.

D. Keutamaan Tafsir
Ditinjau dari materi bahasanya, materi tafsir adalah kalam Allah yang merupakan sumber segala hikmah, berisi berita tentang umat terdahulu dan yang akan datang, menjadi hukum bagi manusia, dan keajaibannya tidak akan pernah sirna.
Ditinjau dari aspek tujuannya, tujuan karya tafsir adalah untuk berpegang teguh kepada buhul tali (agama) yang kokoh taat, dan untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya. Ditinjau dari aspek kebutuhan, kesempurnaan agama dan dunia terletak pada ilmu-ilmu agama, dan hal itu tergantung kepada pengetahuan tentang kitab Allah (al-Qur’an) itu sendiri.

E. Macam-macam Metode Tafsir
1. Metode tahlili
Muhammad Baqir memberi nama metode tahlili dengan nama tafsir tazi’ie. Tafsir tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam mushaf utsmani.
Metode tahlili mempunyai keunggulan dan juga kelemahan yaitu metode ini sering digunakan mufassir sebagai alat untuk melegitimasi pendapat-pendapatnya dengan dalil-dalil al-Qur’an sehingga nilai objektivitas penafsiran menjadi berkurang.
Akibat dari metode tahlili yang sangat luas, para Ulama kemudian membagi corak penafsiran tahlili menjadi beberapa macam yang antara lain: Tafsir bil Ma’tsur, Tafsir bil Ra’yi, Tafsir Fiqih, Tafsir Sufi, Tafsir al-Falsafi, Tafsir Ilmi dan Tafsir Adabi Ijtima’ie.



2. Metode Ijmali
Metode Ijmali adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menyajikan makna-maknanya secara global. Kelebihan metode Ijmali ini antara lain adalah mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an apa adanya tanpa harus menghubungkan kepada hal-hal lain diluar keagungan arti ayat tersebut, uraian penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an mudah dipahami dan dimengerti, tidak bertele-tele, maksud yang dikandung oleh suatu ayat dapat ditang kap dengan mudah dan cepat, objektivitas penafsiran tetap terjaga. Sedangkan kelemahannya adalah penafsirannya sangat sempit dan terbatas, rahasia-rahasia dan hikmah yang terkandung di dalam ayat tidak terungkap banyak, pembahasan terhadap pokok-pokok masalah tidak tuntas.

3. Metode Muqarran
Metode Muqarran atau perbandingan adalah metode penafsiran dengan membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah yang berbeda, atau redaksi yang berbeda dengan masalah yang diduga sama. Metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi yang tampaknya bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat Ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.

4. Tafsir Maudlu’i
Tafsir Maudlu’i atau tematik adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an melalui penetapan topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari berbagai surat yang berbicara tentang topik tersebut untuk dikaitkan satu dengan yang lain lalu diambil kesimpulan secara menyeluruh.

Dalam makalah tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Ulumul Qur’an ini sengaja kami menggunakan metode Tafsir Maudlu’i. Adapun tema yang kami angkat adalah “sumpah”, yakni putusnya perkawinan karena sumpah Ila’, termasuk juga mengenai talak dan fasakh

TAFSIR TAHLILI

PENDAHULUAN

A. Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, bila bertitik tolak pada pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir menjadi empat macam, yaitu Tahlili, Ijmaliy, Muqaran dan Maudlu’i. Yang populer dari keempat metode yang disebutkan itu adalah metode tahlili, dan metode maudlu’iy. Metode tahlili atau yang dinamai Baqir Al-Sadr sebagai metode tajzi’y, adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai segi dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam mushaf.
B. Definisi Tafsir TahliliPenafsiran al-Quran dengan metode tahlili berarti penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan cara memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan, disertai penerangan makna-makna yang tercakup di dalamnya. Penerangan makna-makna tersebut bersesuaian dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkannya. Dalam prakteknya, mufassir biasanya menguraikan makna ayat demi ayat; surat demi surat sesuai dengan urutan yang terdapat di dalam mushaf Utsmani .Muhammad Baqir as-Shadr
 dalam Hamid, 1997:32) menyebut tafsir metode tahlili dengan tafsir tajzi’ie yang secara harfiah berarti tafsir yang penguraiannya berdasarkan bagian-bagian (parsial) .
 Tafsir dengan metode tahlili adalah tafsir yang berusaha untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dari berbagai segi, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam mushhaf, dengan menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat atau surah (munasabah), sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan, pendapat para mufassir terdahulu dan pendapat mufassir sendiri. Metode tahlili banyak dipergunakan oleh ulama klasik, akan tetapi di antara mereka ada yang mengemukakan semua hal di atas secara panjang lebar (ithnab), seperti al-Alusy, al-Fakhr al-Razy, al-Qurthuby, dan al-Thabary; ada juga yang mengemukakannya dengan singkat (ijaz), seperti Jalal al-Din al-Suyuthy, Jalal al-Din al-Mahally dan as-Sayid Muhammad Farid Wajdy; dan ada pula yang mengambil langkah pertengahan (mutawassith), tidak ithnab dan tidak pula ijaz, seperti Imam al-

Baidlawy, Syaikh Muhammad ‘Abduh, al-Naisabury dll. Sekalipun mereka sama-sama menafsirkan al-Quran dengan metode tahlili, akan tetapi corak atau warna tahlili masing-masing berbeda. Ada beberapa corak dari tafsir tahlili yaitu: tafsir fiqhy, tafsir shufy, tafsir falsafy, tafsir ’ilmy dan tafsir adaby-ijtima’iy.

C. Ciri-ciri Tafsir TahliliUntuk mengetahui ciri-ciri tafsir metode tahlili, diantaranya adalah dengan memperhatikan kitab-kitab tafsir tahlili, baik yang berbentuk ma’tsur maupun ra’y. Kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk ma’tsur di antaranya: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-Quran(Ibn Jarir al-Thabari), Ma’alim al-Tanzil (al-Baghawi), Tafsir Al-Quranal-‘Azhim (Ibn Katsir), dan Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur (as-Suyuthi). Adapun kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk ra’y di antaranya: Tafsir al-Khazin (al-Khazin), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (al-Baidhawy), al-Kasysyaf (al-Zamakhsyari), Tafsir al-Manar (Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha). Dari beberapa kitab tersebut, dapat disebutkan bahwa ciri-ciri tafsir metode tahlili di antaranya :
1. Mengemukakan korelasi (munasabah) antarayat maupun antarsurat (sebelum maupun sesudahnya .
2. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat .
3. Menganalisis mufradat dan lafadz dengan sudut pandang linguistik .
4. Memaparkan kandungan ayat beserta maksudnya secara umum .
5. Menjelaskan hal-hal yang bisa disimpulkan dari ayat yang ditafsirkan, baik yang berkaitan dengan hukum fiqh, tauhid, akhlak, atau hal lain .Dengan demikian, tampak bahwa penafsiran al-Quran metode tahlili merupakan merupakan penafsiran yang bersifat luas dan menyeluruh (komprehensif). Dan juga dapat dimengerti, bahwa ciri paling inti dari tafsir metode tahlili bukan pada penafsiran Al-Quran dari awal mushaf sampai akhir, melainkan terletak pada pola pembahasan dan analisisnya

D. Kelebihan dan kekurangan Tafsir Metode Tahlili Sebagaimana metode-metode yang ada lainnya, metode tahlili tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari tafsir metode tahlili di antaranya :1 .Mempunyai ruang lingkup yang luas

mufassir membawanya ke dalam dua bentuk: ma’tsur dan ra’y. Bentuk ra’y sendiri masih dapat dikembangkan menjadi berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian dan kecederungan (kejiwaan) mufassirnya. Dengan keluasan ruang lingkupnya, metode tahlili dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya penafsiran Al-Quran .

Memuat berbagai ide dan gagasan Karena keluasan ruang lingkupnya, mufassir pun relatif mempunyai kebebasan dalam mengajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru. Sehingga dapat dipastikan, pesatnya perkembangan tafsir metode tahlili disebabkan oleh kebebasan tersebut .Selain mempunyai kelebihan, metode tahlili tak luput dari kekurangan. Adapun kekurangan dari metode tahlili di antaranya :
1 Menyebabkan petunjuk Al-Quran (tampak) parsial Metode tahlili memungkinkan mufassir memberi penafsiran yang berbeda pada satu ayat dengan ayat lain yang serupa. Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap ayat-ayat atau lafadz-lafadz yang serupa. Dalam metode tahlili juga terdapat unsur ketidakkonsistenan mufassir. Meski demikian, ketidaksonsistenan ini merupakan konsekuensi logis dari penafsiran metode tahlili, karena dalam metode ini, mufassir tidak dibebani keharusan untuk mengomparasikan ayat dengan ayat .
2 Melahirkan penafsiran subyektif Keluasan ruang lingkup metode tahlili, selain merupakan kelebihan, juga merupakan kelemahan mufassir dalam menafsirkan Al-Quran secara subyektif. Terbukanya pintu penafsiran yang lebar pada metode ini terkadang menafsirkan Al-Quran berdasarkan hawa nafsu dengan mengesampingkan kaidah-kaidah yang berlaku. Akibatnya, penafsiran menjadi kurang tepat, dan maksud ayat pun menjadi berubah. Sikap subyektif pada penafsiran metode tahlili mencapai dominasinya terutama pada bentuk tafsir ra’y. Umumnya, sikap subyektif tersebut berangkat dari fanatisme madzhab secara berlebihan. Kuatnya dominasi penafsiran subyektif, tidak lain juga merupakan konsekuensi logis dari metode tahlili, karena, sikap subyektif mendapat tempat lebih luas dibanding pada metode penafsiran yang lain. Kondisi demikian akhirnya membuat metode ini dirasa kurang representatif dari sudut pandang objektivitas dan signifikansi keilmuan .
3 . Membuka pintu masuk pemikiran Israiliyyat

Masuknya orang-orang Yahudi ke dalam lingkungan Islam, berandil besar dalam tersebar luasnya Israiliyyat beserta pengaruhnya di kalangan umat Islam, tak terkecuali di kalangan mufassir. Kaitannya dengan tafsir metode tahlili, keluasan ruang lingkup metode tahlili berimbas pada keleluasaan mufassir dalam mengajukan ide, gagasan, dan pemikiran tak terkecuali pemikiran Israiliyyat .Sebenarnya tidak ada masalah dengan Israiliyyat sepanjang keberadaannya tidak dikaitkan dengan upaya pemahaman Al-Quran (penafsiran).


Tapi bila terjalin hubungan antara Israiliyyat dengan penafsiran Al-Quran, terbentuklah opini tunggal: kisah Israiliiyat tersebut merupakan petunjuk Allah. Padahal, belum tentu ada kecocokan antara kisah Israiliyyat tersebut dengan maksud Allah .Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Qurand engan metode tahlili itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur’an. Namun, sebenarnya kemukjizatan Al-Quran itu tidak ditujukan kepada ummat Islam, melainkan kepada mereka yang tidak percaya.

Hal ini dapat dibuktikan dengan memperlihatkan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedangkan orang muslim tidak perlu ditantang karena telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran yang dimulai dengan kalimat “Inkuntum fi raib” atau “Inkuntum shadiqin”.Kalau tujuan penggunaan metode tahlili seperti yang diungkapkan Malik di atas, maka untuk masyarakat muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak.

Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir Al-Sadr –Ulama Syi’ah Iraq– yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan pandangan parsial serta kontradiksi dalam kehidupan umat Islam. Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode Tafsir Bi ar-Ra’yi dengan cara tahlili ini tidak mampu menjawab tuntas persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak mampu memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektifitas mufassirnya.

E. Urgensi Metode Tahlili
Meskipun mengandung kekurangan, keberadaan metode tahlili—harus diakui—telah memberikan sumbangan besar bagi pelestarian dan pengembangan khazanah intelektual Islam, khususnya di bidang tafsir Al-Quran. Berdasarkan fakta yang ada, metode ini telah melahirkan karya-karya besar dan monumental. Sehingga, urgensitas metode ini harus diakui .Karena metode tahlili menjelaskan kandungan Al-Quran dari berbagai segi, dapat dikatakan, metode tahlili lebih dapat diandalkan jika tujuan yang ingin dicapai adalah pemahaman yang luas (pemahaman dalam berbagai aspek) terhadap kandungan Al-Quran. Dengan kata lain, urgensi metode tahlili terletak pada keberadaannya yang mampu memberi pemahaman lebih luas (berbagai aspek) dibanding dengan metode tafsir yan lain.

F. Perbedaannya Tafsir Metode Tahlili dengan Metode Maudhu'ia.
a. Pembahasan ayat dalam metode tafsir tahlili mengikuti susunan ayat dan surat di dalam mushhaf, sedangkan metode maudhu’i pembahasan ayat mengacu kepada tema/topik yang telah ditetapkan dan disusun berdasarkan kronologis masa turunnya ayat.

b. Uraian pembahasan tafsir tahlili biasanya meliputi segala segi yang ada dalam ayat atau surat sesuai dengan urutannya dalam mushhaf, sedangkan tafsir maudhu’i pembahasannya terbatas atau terikat pada segi-segi dari tema/topik yang sudah ditetapkan.

c. Pembahasan tafsir tahlili lazimnya mengemukakan arti kosa kata ayat disertai penjelasan dan analisis sesuai dengan metode tafsirnya. Sedangkan metode maudhu’i penafsir tidak mengemukakan hal yang demikian kecuali sekedar yang diperlukan.


d. Dalam tafsir tahlili sulit dibahas secara tuntas, sesuatu judul/topik pembahasan, karena belum lengkapnya penjelasan aspek-aspek judul dalam sesuatu ayat. Sehingga perlu diterangkan, bahwa pembahasan selengkapnya ada pada ayat yang sebelumnya atau sesudahnya. Sedangkan tafsir maudhu’i dapat membahas sesuatu judul/topik secara tuntas dan utuh.

e. Dalam tafsir tahlili, pembahasan munasabah berkisar antara persesuaian ayat yang ditafsirkan dengan ayat-ayat yang terletak sebelumnya dalam tertib mushhaf, sedangkan dalam tafsir maudhu’i, munasabah ayat berkisar antara persesuaian ayat yang satu topik.

f. Dalam tafsir tahlili untuk memahami sesuatu judul/topik pembahasan tidak mudah, karena pembahasan judul/topik tersebar dalam beberapa ayat/surat. Sedangkan dalam tafsir maudhu’i masalah al-Quran dapat diidentifikasi dan disusun dalam bentuk pembahasan tersendiri, terpisah antara satu dengan yang lainnya, sehingga mampu untuk mengungkap petunjuk al-Quran secara memuaskan.




DAFTAR PUSTAKA

Prof Dr. Muhammad Ali Ash-shabuuniy. 1991.
At-Tibyan fi Ulumil Quran. Damaskus:
Maktabah Al Ghozali.. Prof. DR. M. Quraisy Syihab. 2002.
Wawasan Al Qur’an, Tafsir Maudlu’I atas pelbagai persoalan umat.
Bandung: Penerbit Mizan